Immanuel Kant |
Teologi Filosofi
Mungkinkah dilakukan satu pendekatan
yang berbasis teologis sekaligus filosofis? Bukankah kedua pendekatan pemikiran
tersebut sangat bertolak belakang? Di mana teologi dalam mencari kebenaran
didasarkan pada adanya wahyu dari Sang Pencipta yang menceritakan/ menjelaskan
asal-mula segala sesuatu. Sebagaimana wahyu menjelaskan tetang asal-mula segala
sesuatu, maka penjelasan itu haruslah diterima dengan sepenuhnya sebagai suatu
kebenaran.[1] Sudah barang tentu dalam penerimaan
tersebut harus di dasarkan pada iman.
Filsafat
mendasarkan pembangunan pemikirannya berdasarkan rasio. Artinya, apa yang dapat
terinderai dalam pengalaman hidup manusia dan memenuhi hukum rasional (logika
formal). Jika sesuatu tidak dapat terinderai dan tidak memenuhi hukum logika
formal, maka hal tersebut tidak dapat diterima sebagai kebenaran (tidak valid
sebagai pengetahuan). Jadi dapat dikatakan, bahwa pendekatan filsafat dalam
membangun pemikirannya adalah berdasarkan empiris dan rasional.
Berdasarkan dua pendekatan pemikiran
tersebut, mustahillah akan dapat dibangun suatu pendekatan pemikiran yang
teologis sekaligus filosofis. Seperti misalnya, beberapa pokok yang
diutarakan wahyu, tentang penciptaan alam semesta, mujizat-mujizat, tidak dapat
diterima berdasarkan pemikiran filsafat (bertentangan). Karena
science mengatakan bahwa alam semesta tercipta oleh karena terjadinya Big Bang,
dan menurut science mujizat-mujizat yang diutarakan di dalam Alkitab tidak
dapat ditangkap oleh nalar karena berada pada supra-rasio.
Namun sebenarnya kedua
pendekatan pemikiran tersebut tidak bertolak belakang, tetapi saling
melengkapi. Sebab sama seperti pendapat Thomas Aquinas yang dikutip oleh Gordon
Clark, dalam penjelasannya tentang relasi antara iman dan rasio
yaitu,
That faith is the evidence or conviction of things that
appear not. Faith therefore grasps objects that are not evident; what is
evident is grasped by reason. Faith is less than scientific knowledge because
faith does not have vision as science does, although it has the same firm
adherence. [2]
(Bahwa iman adalah bukti atau bukti
dari segala sesuatu yang muncul tidak.
Iman Oleh karena itu menggenggam benda-benda yang tidak jelas, apa
yang jelas ditangkap oleh alasan. Iman adalah kurang
dari pengetahuan ilmiah karena
iman tidak memiliki visi sebagai ilmu tidak, meskipun
memiliki kepatuhan perusahaan yang sama.)
Kemudian
ia menjelaskan dengan penekanan pada kata “necessary” dan phrase
“forced
by necessity”, yang ia tegaskan dalam kalimat-kalimat di bawah ini:
Anything which can be proved by a necessary argument can be
known as a scientific conclusion…Whenever the understanding is forced of
necessity to assent to something, it has scientific knowledge…Whatever things
we know with scientific knowledge properly so-called, we know by reducing them
to first principles which are naturally present to the understanding…Hance it
possible to have faith and sciencetific knowledge about the same thing.[3]
(Apa pun yang
dapat dibuktikan dengan argumen yang diperlukan dapat diketahui sebagai
kesimpulan ilmiah ... Setiap kali pemahaman dipaksa kebutuhan untuk persetujuan
untuk sesuatu, ia memiliki pengetahuan ilmiah ... Apapun hal yang kita ketahui
dengan pengetahuan ilmiah benar apa yang disebut, kita tahu dengan mengurangi
mereka untuk prinsip pertama yang secara alami hadir untuk pemahaman ... Hance
mungkin untuk memiliki iman dan ilmu pengetahuan tentang hal yang sama)
Berarti relasi antara iman dan rasio
tidaklah bertolak belakang, tetapi saling melengkapi. Karena rasio
memiliki objeknya adalah yang kelihatan, sementara objek yang tidak kelihatan
diserap oleh iman. Dengan kata lain ada keterbatasan akal untuk melihat atau
mengindrai objek yang tidak kelihatan, disinilah peran iman mengambil kendali
untuk memimpin rasio agar dapat menyerap objek yang tidak kelihatan tersebut.
Tetapi disisi lain, ada kalanya rasio yang memegang kendali berpikir, karena
objek yang ada merupakan objek yang kelihatan, yang dapat dengan mudah
ditangkap oleh rasio dalam penganalisaannya.
Ide
an und ausser sich
Dari
das
Ding an sich dengan Das Wahre ist Geist das Ganje
Bila
ditinjau dari apa yang dikatakan oleh Kant, bahwa ada pengetahuan terhadap
suatu benda yang tidak dapat kita ketahui, yang hanya benda itu sendiri yang
mengetahuinya. Keadaan ini ia sebut dengan perkataan, das ding an sich,
atauthing in it self. Lalu kemudian Hegel mengatakan tidak demikian,
tidak ada pengetahuan yang tersembunyi dari suatu benda. Kita dapat mengetahui
seluruh keberadaan dari benda tersebut. Dan ini ia sebutkan dengan
perkataan, das wahre ist geis das ganje.
Kant
dan Hegel, sama-sama benar, hanya berbeda dalam penggunaannya. Kant benar, jika
itu digunakan terhadap manusia. Sebab manusia memiliki hati nurani, yang tidak
dapat diketahui oleh siapapun, kecuali ia sendiri. Sekalipun ia diurai sampai
ke bagian yang terkecil, dan dapat dijelaskan secara detail. Namun pengetahuan
terhadapnya tidak dapat diketahui dengan pasti. Sebab hati nurani merupakan
bagian yang tersembunyi di dalam diri manusia, dan hanya dapat diketahui
melalui roh manusia saja seperti yang dikatakan oleh Amsal 20: 27, ”roh manusia
adalah pelita Tuhan, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.”
Hegel |
Hegel
benar, jika itu digunakan terhadap benda-benda. Sebab benda-benda dapat diurai
sampai ke bagian yang terkecil, dan dapat dijelaskan secara detail. Tidak ada
bahagian yang tersembunyi di dalam benda itu, karena ia tidak memiliki hati
nurani dan tidak memiliki roh. Apabila seseorang hendak menyangkal bahwa ia
tidak memiliki hati nurani, maka ia menyangkali keberadaannya sendiri. Dan
apabila ia mengakui bahwa, ia memiliki hati nurani, maka ia juga harus mengakui
keberadaan roh manusia. Roh manusia ini, tidak dapat diserap oleh rasio, itu
sebabnya harus diserap oleh iman. Sebab jika rasio formal mau
menyerap(mengerti) roh manusia, maka itu merupakan kemustahilan.
Sebab hal itu di atas akal manusia (supra rasio). Akal formal tidak sanggup
menjelaskannya, dan jika akal manusia tidak sanggup menjelaskannya, bukan
berarti keberadaan roh manusia tersebut tidak ada. Itu semua terjadi hanya
karena, salah dalam mempergunakan perangkatnya. Seharusnya mempergunakan
perangkat iman, namun yang digunakan perangkat akal. Akibatnya, tidak dapat
memahaminya.
Perkataan das
ding an sich sesuai dengan perkataan Paulus dalam 1
Korintus 2: 11, ”siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat
di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia” Jadi
ada bagian yang hanya manusia itu sendiri yang tahu melalui rohnya yang
menyelidiki lubuk hatinya. Namun jika penyelidikan terhadap manusia hanya
didasarkan pada das ding an sich, maka penyelidikan itu tidak sempurna karena
ada bagian-bagian dari manusia yang dapat diketahui secara jelas. Seperti tubuh
manusia, tubuh dapat diurai/ diketahui secara jelas tanpa ada yang tersembunyi,
dengan demikian benar apa yang dikatakan Hegel, das wahre ist geist das
ganje.
Jadi untuk menyelidiki manusia,
harus mempergunakan das ding an sich, dan das wahre ist
geis das ganje. Dengan kata lain menyelidiki manusia harus
mempergunakan ilmu teologi dan science (fisika, kimia, biologi, filsafat), itu
berarti harus mempergunakan perangkat penyelidikan iman dan rasio. Dengan
demikian, seharusnyalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia, seperti
sosiologi dan anthropologi harus melakukan pendekatannya berdasarkan Ide
an und ausser sich dari das Ding an sich dengan Das
Wahre ist Geist das Ganje.
Keuntungan
Metode Teologi-Filosofi
Dengan cara mempersatukan ke dua
metoda penalaran tersebut. Melalui pendekatan ini akan di dapat kebenaran yang
berdasarkan iman, tetapi juga kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasio. Kebenaran seperti ini akan di dapat melalui metoda teologi-filosofi.[4]
Bagi kekristenan, metode
teologi-filosofi akan membawa seseorang kepada iman yang dapat
dipertanggungjawabkan, mengapa? Karena ketika seseorang beriman, ia harus
mengerti mengapa ia beriman; dan karena ia mengerti mengapa ia beriman, maka ia
dapat mempertanggungjawabkan imannya secara logis. Sebab itu, iman
dan rasio merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Dan lagi 2 Korintus 10: 5,
menyatakan bahwa orang Kristen harus membangun pemikiran yang baik dan menentang
yang keliru. Tanpa penguasaan filsafat, penentangan ini tidak mungkin
dilaksanakan. Apalagi menurut Kolose 2: 8, tidak melarang orang Kristen untuk
berfilsafat, tetapi yang dilarang atau harus dihindari adalah filsafat kosong
(Gnostik). Karena itu, agar orang Kristen tahu filsafat yang kosong, maka ia
harus memahami filsafat secara benar. Orang Kristen yang jatuh pada filsafat
kosong, adalah mereka yang tidak memahami filsafat.
Bagi para filsuf, kerangka pikir
teologi-filosofi dapat menjembatani kekisruhan pemahaman mereka terhadap agama.
Misalnya, Karl Marx, ia mengatakan agama itu candu, karena melihat
ritual-ritual yang dijalankan telah berubah menjadi suatu alat pembius diri.
Dan lebih hebat lagi Auguste Comte, ia mengatakan bahwa ritual-ritual agama
telah tidak dapat berfungsi untuk memperbaiki kehidupan umat manusia. Lalu pada
akhirnya ia mengusulkan suatu agama baru, agama yang lebih mempermuliakan
manusia, yakni agama humanisme (the religion of humanity).
Dan tidak heran jika Montaigne mengatakan, ”mahluk yang bernama manusia itu
agaknya gila. Ia mustahil dapat menciptakan seekor ulat sekalipun, tapi ia
menciptakan lusinan Tuhan.”[5]
Demikian juga dengan Nietzshe, ia mengatakan
filsafat modern (skeptisisme epistemologi) adalah anti Kristen, hal tersebut ia
utarakan karena asumsi bahwa, agama telah berubah peran menjadi tujuan akhir
dan kemutlakan; dan bukan lagi menjadi sarana. Akibatnya agama telah dipakai
oleh para pemimpin agama sebagai alat otoritas, dan sebagai alat penjamin
ketenangan mereka sendiri.[6] Dengan demikian, maka agama itu
telah menyimpang dari maksud semula, yaitu sebagai sarana pembinaan dan
pendidikan bagi umat beragama, agar dapat hidup lebih baik dan bermoral.
REFERENSI :
[1] Ada tiga teori utama tentang
kebenaran. Pertama, teori korespondensi, di mana kebenaran di dapatkan karena
adanya relasi antara suatu keyakinan dengan fakta; kedua, teori koherensi yang
ada di bawah pengaruh Hegel. Teori ini menjelaskan, bahwa kebenaran ditentukan
oleh relasi antara penilaian-penilaian itu sendiri; ketiga, teori
pragmatis. Di mana kebenaran ditentukan dari manfaat atau kegunaan sesuatu.
(A.C. Ewing, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003). Tetapi kebenaran yang dimaksud di sini sangat berbeda
dengan ketiga teori di atas. Kebenaran ini adalah kebenaran yang ditentukan
berdasarkan dari apa yang diungkapkan Tuhan, baik melalui wahyu khusus (Alkitab
+ Yesus Kristus) maupun wahyu umum (alam semesta). Kebenaran itu tidak relatif
ataupun subyektif. Tetapi kebenaran itu absolut, sama seperti kebenaran
matematika. Di mana 6 + 4 = 10, tidak dapat dirubah menjadi 8,
walaupun berdasarkan kesepakatan bersama dari semua orang yang ada di muka bumi
ini. Sebab kebenaran matematika, adalah kebenaran Tuhan yang ditempatkan-Nya
di alam ini; yang tidak mungkin dirubah manusia hanya berdasarkan kesepakatan
begitu saja. Sama seperti kebenaran Tuhan yang ditemukan Issac Newton, ”setiap
benda yang dilemparkan ke atas, pasti akan jatuh ke bawah.” (hukum
Gravitasi). Tidak mungkin benda yang dilemparkan ke atas, jatuh ke atas. Tetapi
pasti jatuh ke bawah. Ini adalah kebenaran absolut. Kebenaran yang tidak di
dasarkan pada nilai dan keyakinan, tetapi berdasarkan penentuan Tuhan yang
dapat diketahui manusia melalui pencarian dan penelusuran/ penelitian manusia
terhadap wahyu-Nya. Apakah melalui wahyu umum {alam semesta} atau wahyu khusus.
[4] Descartes mengatakan di dalam
bukunya tentang, Discourse on Method and Related Writtings pada
bagian hukum untuk memandu inteligensi seseorang di dalam mencari kebenaran,
mengatakan bahwa, suatu metoda diperlukan dalam rangka mencari kebenaran
tentang hal-hal. Itu sebabnya dalam tulisan ini dipergunakan metoda teologi-filosofi.
Karena asumsi bahwa, metoda sangat diperlukan dalam penalaran, sebab metoda
merupakan alat ukur suatu kebenaran. Jika metodanya salah, maka hasil yang akan
dicapai juga akan salah.
[6] Nietzsche, Beyond Good
And Evil: Prelude Menuju Filsafat Masa Depan, (Yogyakarta:
IKON), hlm. 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar