Halaman

Jumat, 12 Oktober 2012

Teologi Filosofi


Immanuel Kant


Teologi Filosofi


Mungkinkah dilakukan satu pendekatan yang berbasis teologis sekaligus filosofis? Bukankah kedua pendekatan pemikiran tersebut sangat bertolak belakang? Di mana teologi dalam mencari kebenaran didasarkan pada adanya wahyu dari Sang Pencipta yang menceritakan/ menjelaskan asal-mula segala sesuatu. Sebagaimana wahyu menjelaskan tetang asal-mula segala sesuatu, maka penjelasan itu haruslah diterima dengan sepenuhnya sebagai suatu kebenaran.[1] Sudah barang tentu dalam penerimaan tersebut harus di dasarkan pada iman.

           Filsafat mendasarkan pembangunan pemikirannya berdasarkan rasio. Artinya, apa yang dapat terinderai dalam pengalaman hidup manusia dan memenuhi hukum rasional (logika formal). Jika sesuatu tidak dapat terinderai dan tidak memenuhi hukum logika formal, maka hal tersebut tidak dapat diterima sebagai kebenaran (tidak valid sebagai pengetahuan). Jadi dapat dikatakan, bahwa pendekatan filsafat dalam membangun pemikirannya adalah berdasarkan empiris dan rasional.

Berdasarkan dua pendekatan pemikiran tersebut, mustahillah akan dapat dibangun suatu pendekatan pemikiran yang teologis sekaligus filosofis. Seperti misalnya,  beberapa pokok yang diutarakan wahyu, tentang penciptaan alam semesta, mujizat-mujizat, tidak dapat diterima berdasarkan pemikiran filsafat (bertentangan).  Karena science mengatakan bahwa alam semesta tercipta oleh karena terjadinya Big Bang, dan menurut science mujizat-mujizat yang diutarakan di dalam Alkitab tidak dapat ditangkap oleh nalar karena berada pada supra-rasio.

 Namun sebenarnya kedua pendekatan pemikiran tersebut tidak bertolak belakang, tetapi saling melengkapi. Sebab sama seperti pendapat Thomas Aquinas yang dikutip oleh Gordon Clark, dalam penjelasannya tentang  relasi antara iman dan rasio yaitu, 
That faith is the evidence or conviction of things that appear not. Faith therefore grasps objects that are not evident; what is evident is grasped by reason. Faith is less than scientific knowledge because faith does not have vision as science does, although it has the same firm adherence. [2]
(Bahwa iman adalah bukti atau bukti dari segala sesuatu yang muncul tidak. Iman Oleh karena itu menggenggam benda-benda yang tidak jelas, apa yang jelas ditangkap oleh alasan. Iman adalah kurang dari pengetahuan ilmiah karena iman tidak memiliki visi sebagai ilmu tidak, meskipun memiliki kepatuhan perusahaan yang sama.)

Kemudian ia menjelaskan dengan penekanan pada kata “necessary” dan phrase
“forced by necessity”, yang ia tegaskan dalam kalimat-kalimat di bawah ini:

Anything which can be proved by a necessary argument can be known as a scientific conclusion…Whenever the understanding is forced of necessity to assent to something, it has scientific knowledge…Whatever things we know with scientific knowledge properly so-called, we know by reducing them to first principles which are naturally present to the understanding…Hance it possible to have faith and sciencetific knowledge about the same thing.[3]
(Apa pun yang dapat dibuktikan dengan argumen yang diperlukan dapat diketahui sebagai kesimpulan ilmiah ... Setiap kali pemahaman dipaksa kebutuhan untuk persetujuan untuk sesuatu, ia memiliki pengetahuan ilmiah ... Apapun hal yang kita ketahui dengan pengetahuan ilmiah benar apa yang disebut, kita tahu dengan mengurangi mereka untuk prinsip pertama yang secara alami hadir untuk pemahaman ... Hance mungkin untuk memiliki iman dan ilmu pengetahuan tentang hal yang sama)

Berarti relasi antara iman dan rasio tidaklah bertolak belakang, tetapi saling melengkapi. Karena rasio memiliki objeknya adalah yang kelihatan, sementara objek yang tidak kelihatan diserap oleh iman. Dengan kata lain ada keterbatasan akal untuk melihat atau mengindrai objek yang tidak kelihatan, disinilah peran iman mengambil kendali untuk memimpin rasio agar dapat menyerap objek yang tidak kelihatan tersebut. Tetapi disisi lain, ada kalanya rasio yang memegang kendali berpikir, karena objek yang ada merupakan objek yang kelihatan, yang dapat dengan mudah ditangkap oleh rasio dalam penganalisaannya.

Ide an und ausser sich
Dari
das Ding an sich dengan Das Wahre ist Geist das Ganje

            Bila ditinjau dari apa yang dikatakan oleh Kant, bahwa ada pengetahuan terhadap suatu benda yang tidak dapat kita ketahui, yang hanya benda itu sendiri yang mengetahuinya. Keadaan ini ia sebut dengan perkataan, das ding an sich, atauthing in it self. Lalu kemudian Hegel mengatakan tidak demikian, tidak ada pengetahuan yang tersembunyi dari suatu benda. Kita dapat mengetahui seluruh keberadaan dari benda tersebut. Dan ini ia sebutkan dengan perkataan, das wahre ist geis das ganje.

            Kant dan Hegel, sama-sama benar, hanya berbeda dalam penggunaannya. Kant benar, jika itu digunakan terhadap manusia. Sebab manusia memiliki hati nurani, yang tidak dapat diketahui oleh siapapun, kecuali ia sendiri. Sekalipun ia diurai sampai ke bagian yang terkecil, dan dapat dijelaskan secara detail. Namun pengetahuan terhadapnya tidak dapat diketahui dengan pasti. Sebab hati nurani merupakan bagian yang tersembunyi di dalam diri manusia, dan hanya dapat diketahui melalui roh manusia saja seperti yang dikatakan oleh Amsal 20: 27, ”roh manusia adalah pelita Tuhan, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.”
Hegel

            Hegel benar, jika itu digunakan terhadap benda-benda. Sebab benda-benda dapat diurai sampai ke bagian yang terkecil, dan dapat dijelaskan secara detail. Tidak ada bahagian yang tersembunyi di dalam benda itu, karena ia tidak memiliki hati nurani dan tidak memiliki roh. Apabila seseorang hendak menyangkal bahwa ia tidak memiliki hati nurani, maka ia menyangkali keberadaannya sendiri. Dan apabila ia mengakui bahwa, ia memiliki hati nurani, maka ia juga harus mengakui keberadaan roh manusia. Roh manusia ini, tidak dapat diserap oleh rasio, itu sebabnya harus diserap oleh iman. Sebab jika rasio formal mau menyerap(mengerti)  roh manusia, maka itu merupakan kemustahilan. Sebab hal itu di atas akal manusia (supra rasio). Akal formal tidak sanggup menjelaskannya, dan jika akal manusia tidak sanggup menjelaskannya, bukan berarti keberadaan roh manusia tersebut tidak ada. Itu semua terjadi hanya karena, salah dalam mempergunakan perangkatnya. Seharusnya mempergunakan perangkat iman, namun yang digunakan perangkat akal. Akibatnya, tidak dapat memahaminya.

            Perkataan das ding an sich sesuai dengan perkataan Paulus dalam  1 Korintus 2: 11, ”siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia” Jadi ada bagian yang hanya manusia itu sendiri yang tahu melalui rohnya yang menyelidiki lubuk hatinya. Namun jika penyelidikan terhadap manusia hanya didasarkan pada das ding an sich, maka penyelidikan itu tidak sempurna karena ada bagian-bagian dari manusia yang dapat diketahui secara jelas. Seperti tubuh manusia, tubuh dapat diurai/ diketahui secara jelas tanpa ada yang tersembunyi, dengan demikian benar apa yang dikatakan Hegel, das wahre ist geist das ganje. 

Jadi untuk menyelidiki manusia, harus mempergunakan das ding an sich, dan das wahre ist geis das ganje. Dengan kata lain menyelidiki manusia harus mempergunakan ilmu teologi dan science (fisika, kimia, biologi, filsafat), itu berarti harus mempergunakan perangkat penyelidikan iman dan rasio. Dengan demikian, seharusnyalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia, seperti sosiologi dan anthropologi harus melakukan pendekatannya berdasarkan Ide an und ausser sich dari das Ding an sich dengan Das Wahre ist Geist das Ganje.

Keuntungan Metode Teologi-Filosofi
Dengan cara mempersatukan ke dua metoda penalaran tersebut. Melalui pendekatan ini akan di dapat kebenaran yang berdasarkan iman, tetapi juga kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasio. Kebenaran seperti ini akan di dapat melalui metoda teologi-filosofi.[4]
Bagi kekristenan, metode teologi-filosofi akan membawa seseorang kepada iman yang dapat dipertanggungjawabkan, mengapa? Karena ketika seseorang beriman, ia harus mengerti mengapa ia beriman; dan karena ia mengerti mengapa ia beriman, maka ia dapat  mempertanggungjawabkan imannya secara logis. Sebab itu, iman dan rasio merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
 Dan lagi 2 Korintus 10: 5, menyatakan bahwa orang Kristen harus membangun pemikiran yang baik dan menentang yang keliru. Tanpa penguasaan filsafat, penentangan ini tidak mungkin dilaksanakan. Apalagi menurut Kolose 2: 8, tidak melarang orang Kristen untuk berfilsafat, tetapi yang dilarang atau harus dihindari adalah filsafat kosong (Gnostik). Karena itu, agar orang Kristen tahu filsafat yang kosong, maka ia harus memahami filsafat secara benar. Orang Kristen yang jatuh pada filsafat kosong, adalah mereka yang tidak memahami filsafat.
Bagi para filsuf, kerangka pikir teologi-filosofi dapat menjembatani kekisruhan pemahaman mereka terhadap agama. Misalnya,  Karl Marx, ia mengatakan agama itu candu, karena melihat ritual-ritual yang dijalankan telah berubah menjadi suatu alat pembius diri. Dan lebih hebat lagi Auguste Comte, ia mengatakan bahwa ritual-ritual agama telah tidak dapat berfungsi untuk memperbaiki kehidupan umat manusia. Lalu pada akhirnya ia mengusulkan suatu agama baru, agama yang lebih mempermuliakan manusia,  yakni agama humanisme (the religion of humanity). Dan tidak heran jika Montaigne mengatakan, ”mahluk yang bernama manusia itu agaknya gila. Ia mustahil dapat menciptakan seekor ulat sekalipun, tapi ia menciptakan lusinan Tuhan.”[5]
Demikian juga dengan Nietzshe, ia mengatakan filsafat modern (skeptisisme epistemologi) adalah anti Kristen, hal tersebut ia utarakan karena asumsi bahwa, agama telah berubah peran menjadi tujuan akhir dan kemutlakan; dan bukan lagi menjadi sarana. Akibatnya agama telah dipakai oleh para pemimpin agama sebagai alat otoritas, dan sebagai alat penjamin ketenangan mereka sendiri.[6] Dengan demikian, maka agama itu telah menyimpang dari maksud semula, yaitu sebagai sarana pembinaan dan pendidikan bagi umat beragama, agar dapat hidup lebih baik dan bermoral.


REFERENSI :

[1] Ada tiga teori utama tentang kebenaran. Pertama, teori korespondensi, di mana kebenaran di dapatkan karena adanya relasi antara suatu keyakinan dengan fakta; kedua, teori koherensi yang ada di bawah pengaruh Hegel. Teori ini menjelaskan, bahwa kebenaran ditentukan oleh relasi antara penilaian-penilaian itu sendiri; ketiga,  teori pragmatis. Di mana kebenaran ditentukan dari manfaat atau kegunaan sesuatu. (A.C. Ewing, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Tetapi kebenaran yang dimaksud di sini sangat berbeda dengan ketiga teori di atas. Kebenaran ini adalah kebenaran yang ditentukan berdasarkan dari apa yang diungkapkan Tuhan, baik melalui wahyu khusus (Alkitab + Yesus Kristus) maupun wahyu umum (alam semesta). Kebenaran itu tidak relatif ataupun subyektif. Tetapi kebenaran itu absolut, sama seperti kebenaran matematika.  Di mana 6 + 4 = 10, tidak dapat dirubah menjadi 8, walaupun berdasarkan kesepakatan bersama dari semua orang yang ada di muka bumi ini. Sebab kebenaran  matematika, adalah kebenaran Tuhan yang ditempatkan-Nya di alam ini; yang tidak mungkin dirubah manusia hanya berdasarkan kesepakatan begitu saja. Sama seperti kebenaran Tuhan yang ditemukan Issac Newton, ”setiap benda yang dilemparkan ke atas, pasti akan jatuh ke bawah.”  (hukum Gravitasi). Tidak mungkin benda yang dilemparkan ke atas, jatuh ke atas. Tetapi pasti jatuh ke bawah. Ini adalah kebenaran absolut. Kebenaran yang tidak di dasarkan pada nilai dan keyakinan, tetapi berdasarkan penentuan Tuhan yang dapat diketahui manusia melalui pencarian dan penelusuran/ penelitian manusia terhadap wahyu-Nya. Apakah melalui wahyu umum {alam semesta} atau wahyu khusus.
[2] Gordon H. Clark, Thales To Dewey, (Maryland: The Trinity Foundation, 1985). Page 270.
[3] Ibid., 270-271.
[4] Descartes mengatakan di dalam bukunya tentang, Discourse on Method and Related Writtings pada bagian hukum untuk memandu inteligensi seseorang di dalam mencari kebenaran, mengatakan bahwa, suatu metoda diperlukan dalam rangka mencari kebenaran tentang hal-hal. Itu sebabnya dalam tulisan ini dipergunakan metoda teologi-filosofi. Karena asumsi bahwa, metoda sangat diperlukan dalam penalaran, sebab metoda merupakan alat ukur suatu kebenaran. Jika metodanya salah, maka hasil yang akan dicapai juga akan salah.
[5] Aland Woods & Ted Grandt, Reason in Revolt, (terj. Rafiq N., (Yagya: IRE Press), hlm. 20
[6] Nietzsche, Beyond Good And Evil: Prelude Menuju Filsafat Masa Depan,  (Yogyakarta: IKON), hlm. 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar